Training of Trainers Program Guru Sekolah Minggu

01-02 Juni 2023 – telah diadakan Program Training of Trainers Guru Sekolah Minggu. Fokus program ini adalah untuk memperlengkapi pengetahuan juga keterampilan para Guru Sekolah Minggu khususnya dalam pengajaran Katekismus Kecil Luther, Metode Pengajaran Sekolah Minggu dan Mengajar Siswa Difabel. Program ini dilaksanakan di kantor Komite Nasional LWF Indonesia, Jl. Sutomo, Pematang Siantar. 

Pada hari pertama di sesi awal, Pdt. Dr. Sukanto Limbong memaparkan tentang Katekismus Kecil Martin Luther bersama Anak Sekolah Minggu. Bapak Pdt. Sukanto kembali mengingatkan tugas yang diemban oleh para pelayan dalam mendidik serta memelihara anak-anak sebagaimana yang telah Yesus Kristus lakukan dengan mengajarkan Firman Allah, mengasihi sesama serta menasihati anak-anak untuk tekun dalam beribadah. Salah satu tujuan dari pengantar Katekismus Pertama 1529 adalah untuk mengajar anak-anak, sehingga mereka dapat taat kepada perintah Allah, giat dalam membaca Alkitab serta melawan sikap-sikap iblis. Terdapat empat bagian pokok yang terdiri dari; Pokok Kesepuluh Perintah Allah, Pokok Pengakuan Iman, Pokok Doa Bapa Kami serta Baptisan dan Perjamuan Kudus.


Sesi kedua difasilitasi oleh Biv. Erin Sinaga, M.Th yang menjelaskan tentang Metode Pengajaran Sekolah Minggu. Ibu Biv. Erin terlebih dulu menjelaskan generasi anak Sekolah Minggu pada masa ini yang lebih berani dalam mencoba hal baru, melek teknologi, cerdas digital, senang berinovasi, dan tidak suka dibatasi. Dengan demikian, dalam memberikan bahan ajar bagi anak Sekolah Minggu, seorang Guru Sekolah Minggu harus mempelajari beberapa hal, misalnya mengenai teknik/cara mengajar, membuat suasana kelas yang produktif, hingga menghubungkan kebenaran Firman kepada Anak Sekolah Minggu. 

“Selain mempelajari tentang bahan ajar serta metode pengajaran, Guru Sekolah Minggu juga harus memahami model Kurikulum yang menjadi tema besar mengenai topik Sekolah Minggu selama satu tahun. Tema inilah yang nantinya akan dihubungkan dengan konteks masa kini dan nantinya kita akan mencari cara untuk menyikapi keadaan yang ada dengan tema yang digunakan.” tegas beliau. Pada akhir sesi, para Guru Sekolah Minggu diajak untuk membuat kreasi dari bahan-bahan sederhana yang menghasilkan kerajinan tangan yang dapat disesuaikan dengan tema pengajaran Sekolah Minggu.

Pada hari kedua di sesi pertama, Program Training of Trainers Guru Sekolah Minggu dibekali dengan pemahaman mengenali Difabel oleh Bapak Pdt. Edi Jasin Saragih, M.Th. Pada awal sesinya, beliau memulai diskusi dengan pemahaman istilah Difabel. Istilah Difabel sendiri memberikan dampak positif kepada difabel maupun masyarakat. Istilah ini menciptakan pandangan bahwa setiap orang adalah sama. Perbedaan yang ada hanya kita temui melalui cara dalam melakukan aktivitas (komunikasi, kegiatan-kegiatan sosial dan lain sebagainya). 

Bapak Pdt. Edi menjelaskan mengenai Spiritualitas dan Religiositas Pada Anak Difabel. Spiritualitas menjadi bagian dari eksistensi manusia terkait hubungannya dengan Allah, sehingga tidak ada alasan bagi kita untuk tidak membantu Difabel dalam menemukan spiritualitasnya. Religiositas akan membuat Difabel memiliki komunitas iman yang memungkinkan yang bersangkutan mengekspresikan spiritualitasnya. 

Ibadah inklusi bersama Difabel yang bertujuan untuk memberi harapan, penyembuhan, dan membawa kekuatan bagi kehidupan orang yang datang beribadah. Kehadiran di gereja tidaklah cukup bagi Difabel. Mereka harus mendapat perhatian dan penyambutan. Mereka harus dirawat, didukung, diterima, dikenal, ditemani, dibutuhkan, dan akhirnya dikasihi, sebab mereka mendapatkan kesempatan untuk hidup, tumbuh dan berkembang sesuai dengan harkat dan martabat manusia. 

Gereja serta keluarga pendamping Difabel perlu memfasilitasi Difabel dalam perjumpaan spiritual melalui pendampingan rohani yang bersifat holistik. “Kita meyakini anugerah Allah terbuka untuk semua orang termasuk difabel.” Sehingga, kita memiliki tugas untuk mendesain katekisasi sebagai kebutuhan Difabel sesuai dengan konteks masing-masing. Dalam hal ini, Gereja perlu memahami dan mengenal Difabel agar dapat memberikan pelayanan sesuai kebutuhan mereka. 

“Dalam memahami Difabel, kita tidak bisa hanya melihat kehadiran juga keadaan seorang anak itu saja, kita harus melihat secara holistik. Berhentilah untuk melihat kelemahannya, mulailah untuk melihat keunggulannya.” tegas Bapak Pdt. Edi.