Untitled design (6)

Sekolah Advokasi HAM

     Sekolah Advokasi HAM berlangsung selama tiga hari, 23-25 November 2022 berlokasi di Gedung Lutheran Study Centre, Pematang Siantar. Pembukaan kegiatan dilaksanakan dengan melaksanakan Ibadah Pembukaan, yang diisi oleh Khotbah dari Sekretaris BP KN-LWF Pdt. Humala Lumban Tobing. Khotbah ini sekaligus membuka secara resmi kegiatan. Setelahnya dilaksanakan Upacara Nasional, dengan menyankarakyikan Lagu Indonesia Raya, dan mengheningkan cipta dipimpin oleh Direktur KN-LWF, Pdt. Dedi Pardosi. Kegiatan dimulai dengan membangun kesan, semangat dan juga metode yang menggambarkan tujuan dan seluruh aspek pelatihan dengan menarik dan menggambarkan pelatihan partisipatif. Berkatdo (Koordinator Human Rights and Advocacy), memfasilitasi sesi pengenalan kerangka pelatihan yaitu tentang latar belakang, tujuan, dan sasaran Pelatihan. Kegiatan ini dihadiri oleh 20 peserta yang berasal dari gereja berbeda dan merupakan seorang anggota gereja KN-LWF.
     Materi Pertama membahas tentang “Konsep dan Dasar HAM” yang dipaparkan oleh Rahmat Muhamad – Koordinator KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) Wilayah Sumatera Utara Rahmat Muhamad mengajak peserta memahami definisi HAM baik dari Undang-undang HAM No.39 Tahun 1999 (Pasal 1:1), dan beberapa definisi lagi dari beberapa tokohHAM. Kemudian, para peserta juga memahami karakteristik HAM yang Universal: Hak Asasi dimiliki oleh setiap manusia; Inalienable: Hak asasi tidak dapat dicabut; Interdependent – Interrelated: Hak asasi saling bergantung dan saling berkaitan; dan Indivisible: HAM tidak dapat dipisahkan. Materi pertama semakin menyadarkan peserta bahwa HAM tidak memandang SARA, sehingga setiap manusia meskipun berbeda “absolut” harus disadari sebagai subjek yang memiliki HAK, sesuai dengan DUHAM.
     Materi Kedua membahas tentang “LWF Advocacy Framework” yang dipaparkan oleh Isiah Toriotich (LWF Head of Global Advocacy) secara virtual. LWF memiliki pendekatan dalam Advocacy, yaitu L2G2L (local to global to local). LWF sebagai organisasi yang mengisi juga membantu isu lokal dan membawanya mengglobal, sehingga di tingkatan global terdapat keputusan-keputusan, dan dibawa kembali ke lokal untuk dilaksanakan sesuai dengan konteks lokal. Isiah menjelaskan bahwa LWF melakukan advokasi di 5 fokus area sebagai bagian dari Action for Justice, yaitu: Hak Asasi Manusia, Keadilan Gender, Keadilan Iklim, Perdamaian-Dialog Lintas Iman, dan Aksi Kemanusiaan. Isiah menekankan peran dari KN-LWF sebagai organisasi di tingkat nasional menjadi jembatan perwujudan konsep dan kerangka kerja L2G2L LWF di Indonesia.
     Materi Ketiga, “Mekanisme Nasional Pelaporan Pelanggaran HAM” dipaparkan oleh Helda Khasmy (Ketua Serikat Perempuan Indonesia) Pemateri dasar-dasar hukum nasional yang mengatur tentang tata dan cara pelaporan. Diantaranya, TAP MPR No. XVII/1998 tentang Hak Asasi Manusia, Rancangan Aksi Nasional tentang Hak Asasi Manusia periode I (1998-2003) dan II (2004-2009), Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. “Secara standar, pelaporan ke Komnas HAM: merupakan pengaduan yang dapat disampaikan melalui telepon, faksimili, surat elektronik, pengaduan online, aplikasi Whatsapp, surat melalui Jasa Pos atau Kurir, surat elektronik Sebagaimana dalam Pasal 6 Ayat (1)Peraturan Komnas HAM Nomor 1 Tahun 2016 tentang Standar Operasional Prosedur Pelaksanaan Pelayanan Pengaduan”, ungkap Helda Khasmy.
     Materi Keempat, “Mekanisme Internasional Pelaporan Pelanggaran HAM” dipaparkan oleh Daniel Awigra (Direktur Human Rights Working Group/HRWG) Pemateri memaparkan Mekanisme Internasional sebagai platform yang digunakan dalam usaha advokasi dan pelaporan. Mekanisme yang berlaku secara Internasional bertujuan untuk memperkuat mekanisme hak asasi manusia dan kerangka hukum nasional, regional & global (UPR, CEDAW, CRC, ACHPR, dll.), Hak-hak pengungsi (termasuk dan pengungsi domestik/internal), Perlindungan actor pembela HAM (berbasis agama keyakinan) dan masyarakat sipil pembela HAM (ruang CSO), serta Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (FoRB). Kemudian, terdapat mekanisme khusus yang biasanya dibentuk untuk kasus pelanggaran HAM khusus dan tertentu, yaitu: Special Procedure Mandate Holders (SPMH). SPMH melakukan pengamatan langsung melalui kunjungan ke negara (country visit); kajian tematis; dan menyelenggarakan konsultasi dengan para pakar, advokasi, dan pihak terkait lainnya. “Dalam menempuh mekanisme Internasional bagi organisasi masyarakat sipil merupakan sesuatu yang cukup rumit dan mahal, sehingga perlu adanya aliansi yang berkolaborasi agar seluruh isu lokal yang akan dibawa ke level global dapat tersampaikan dengan lebih efisien”, ungkap pemateri.
     Materi Kelima, “Pendalaman HAM KBB (Kebebasan Beragama Berkeyakinan)” oleh Saurlin Siagian (Komisioner Komisi Nasional HAM RI) Pemateri memaparkan 2 cakupan KBB, yakni Internum: Kebebasan untuk memiliki atau memeluk agama/kepercayaan atas pilihannya sendiri, termasuk berpindah atau meninggalkan agama/kepercayaan dan Eksternum: Kebebasan untuk mengejawantahkan (menjalankan, mengamalkan, mengajarkan) agama/kepercayaannya. Pemateri mengajak peserta untuk menguji pandangan dan sikap peserta atas agama dan keyakinan yang berbeda. Banyak peserta yang meyakini bahwa kelompok kepercayaan (berkeyakinan) seperti parmalim merupakan kelompok yang tidak BerTuhan dengan alasan bahwa BerTuhan hanya melalui beragama. Pematerimenampik dengan menjelaskan bahwa berTuhan dan beragama merupakan dua hal yang berbeda. Karena Agama dan kelompok berkeyakinan memiliki tujuan yang sama, yaitu melaksanakan kepercayaan dalam hubungan ber-Tuhan.
     Materi Keenam, “Teknik dan Strategi Advokasi” oleh Dedy Sinuhaji (Penggiat Media Kreatif/Sekretaris Umum Asosiasi Media Kreatif Indonesia, Jurnalis dan Photographer Asosiasi Kantor Photography Eropa) Materi advokasi merupakan hal krusial bagi aktivis, karena inti dari advokasi menarik perhatian. Untuk melatih hal itu, pemateri menyampaikan perlunya bagi aktivis advokasi untuk memiliki literasi tinggi dan riset “pasar” sehingga sumber daya yang biasanya terbatas dapat maksimal. Media sosial berbicara tentang bagaimana konten advokasi dilihat, direspon, dan di bagikan di lamannya, dan kembali dibagikan oleh pihak lainnya. Sehingga, diperlukan kolaborasi sesama penggiat advokasi digital, sehingga semakin ramai yang membagikannya, maka peluang untuk terberitakan semakin besar.
     Tantangan dari kegiatan ini adalah waktu yang cukup terbatas untuk jumlah peserta yang mencapai 20, sehingga pemateri dan peserta tidak dapat melakukan diskusi untuk waktu yang lebih lama. Kemudian, pemahaman peserta mengenai beberapa konsep dan kerangka HAM yang tidak sama membuat perdebatan memakan waktu yang cukup lama. Sebagaimana tujuan dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan pemahaman peserta akan Hak beragama dan berkeyakinan, para peserta semakin paham dalam menganalisis kasus-kasus pelanggaran hak beragama dan berkeyakinan. Kegiatan ini telah meningkatkan pengetahuan para peserta akan HAM, nilai nilai yang terkandung di dalamnya, prinsip-prinsip pokok, serta lingkup permasalahan HAM baik di tingkat nasional maupun internasional semakin meningkat. Terinternalisasinya nilai-nilai dan prinsip-prinsip HAM yang secara konkret dapat diterapkan dalam keseharian para peserta melalui pelibatan diri untuk perjuangan hak asasi manusia.

Recent posts